Artikel Islami

1.Ketentuan Puasa Rajab, Niat, Dalil dan Keutamaannya




merupakan bulan ketujuh dalam penanggalan Islam dan termasuk satu dari bulan yang dimuliakan Allah SWT.

Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan, alasan bulan-bulan ini dinamakan al-hurum adalah, apabila melakukan perbuatan maksiat pada bulan-bulan tersebut akan dibalas dengan ganjaran yang lebih berat. Sebaliknya, jika berbuat ketaatan maka akan mendapat pahala lebih banyak (Al-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, juz 16, h. 53).Menurut Sayyid Abu Bakar Syattha’ dalam I’ânah at-Thâlibîn, Rajab diambil dari kata at-tarjîb yang berarti memuliakan. Karena masyarakat Arab dulu lebih memuliakannya dibanding bulan lainnya.

Rajab disebut juga Al-Ashabb yang berarti mengucur. Atau dapat diartikan sebagai bulan kucuran rahmat bagi hamba-hamba Allah yang bertaubat kepada-Nya. Bulan Rajab juga dikenal dengan sebutan Al-‘Ashamm yang berarti tuli, karena pada bulan tersebut tidak terdengar gemerincing senjata untuk berkelahi.

Seperti dilansir dari Nu.or.id, salah satu amalan yang dsunahkan dalam bulan Rajab adalah berpuasa. Kesunnahan berpuasa lebih ditekankan pada hari yang memiliki kemuliaan. Momen memperoleh kemuliaan tersebut adakalanya dalam setiap tahun, setiap bulan, ataupun setiap minggu. Dalam kategori tahunan terdapat pada bulan Dzulhijjah, Muharram, Rajab, dan Sya'ban.

Pelaksanaan puasa Rajab dilakukan hanya beberapa hari saja saat bertepatan hari-hari utama agar pahalanya lebih besar. Seperti pada ayyâmul bidh (tanggal 13, 14, dan 15), hari Senin, hari Kamis, dan hari Jumat (al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulumiddîn, juz 3, h. 432).

Lantas, kapan waktu yang baik melakukan puasa Rajab?

Puasa Rajab baiknya dilakukan bertepatan hari-hari utama agar pahalanya lebih besar. Seperti pada ayyâmul bidh (tanggal 13, 14, dan 15), hari Senin, hari Kamis, dan hari Jumat (al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulumiddîn, juz 3, h. 432).

Dasar anjuran pada empat bulan yang dimuliakan (termasuk di dalamnya bulan Rajab), sebagaimana ditegaskan oleh Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib (juz 16, h. 54):

"Barang siapa yang berpuasa satu hari pada bulan-bulan yang dimuliakan (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), maka ia akan mendapat pahala puasa 30 hari.".

Sementara, Sayyid Abu Bakar Syattha’ dalam I’ânah at-Thâlibîn mengutip hadits berikut:

"Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah!” (HR Abu Dawud dan yang lainnya)," HR Abu Dawud. 

Keutamaan Puasa Rajab

Terkait keutamaan puasa Rajab, Imam al-Ghazali dalam Ihyâ ‘Ulumiddîn (juz 3, h. 431) mengutip dua hadits berikut:

"Satu hari berpuasa pada bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), lebih utama dibanding berpuasa 30 hari pada bulan selainnya. Satu hari berpuasa pada bulan Ramadhan, lebih utama dibanding 30 hari berpuasa pada bulan haram."

"Barang siapa berpuasa selama tiga hari dalam bulan haram, hari Jumat, dan Sabtu, maka Allah balas setiap satu harinya dengan pahala sebesar ibadah 900 tahun."

Puasa Rajab sifatnya sunnah. Dengan catatan akan makruh jika dilakukan selama satu bulan penuh. Sebagai saran, baiknya puasa Rajab dilakukan dengan bertepatan pada hari-hari utama dalam bulan Rajab.

Seperti pada ayyâmul bîdh (tanggal 13, 14, dan 15), hari Senin, Kamis, dan Jumat. Puasa Rajab juga bisa dilaksanakan dengan satu hari berpuasa dan satu hari tidak.

Bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadan, diperbolehkan untuk mengqadhanya bersamaan puasa sunnah Rajab.

Bahkan, menurut Sayyid Bakri Syattha’ (w. 1892 M.) dengan mengutip fatwa Al-Barizi, andaikan puasanya hanya niat qadha, maka otomatis juga memperoleh kesunnahan puasa Rajab (Sayid Bakri, Hâsyiyah I’ânah at-Thaâlibîn, juz 2, h. 224).

Sebagaimana puasa pada umumnya, waktu niat puasa Rajab adalah pada malam hari, yakni sejak terbenamnya matahari sampai terbit fajar. Berikut adalah lafal niatnya:

"Aku berniat puasa Rajab, sunnah karena Allah taala.

2. Muqodimah

 Kefasihan berpidato lisan para ustaz, ustazah, dai, daiyah, mubalig, mubaligah, kiai, nyai, dan tuan guru Islam pada podium di hadapan jamaah, tak syak lagi disaksikan. Kemampuan ceramah lisan itu dapat dipadukan dengan tulisan agar ahli menulis artikel agama Islam di mimbar media, koran, surat kabar, dan media sosial lain. Alhasil, kombinasi keterampilan berpidato dan menulis menjadi adat-istiadat dalam masyarakat Muslim/Muslimat Indonesia.Sebagaimana maraknya pengajian majelis taklim lisan semisal yasinan, talqinan, tahlilan, wiridan, dan zikiran berjamaah. Alangkah afdalnya kalaulah majelis taklim penulisan artikel agama Islam ke koran dimasyhurkan juga, baik fardiahan (perorangan) maupun kifayahan dan jamaahan. Secara fardiah (pribadi), saya berupaya mengamalkan praktik menulis artikel agama Islam ke koran. Begitu pula berjamaah, saya memberikan pelatihan menulis artikel gratis kepada kalangan pelajar tingkat menengah dan mahasiswa. Dan berharap cakupan jamaah menulis yang lebih luas seumpama pengajian kaum ibu dan bapak untuk diorganisasi menulis artikel agama Islam.Itulah harapan muluk-muluk (raja-raja) yang menjadi maksud penulisan buku ini supaya menulis artikel milik jamaah; para ustaz atau ustazah serta jamaahnya. Ingatlah nasihat hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (w. 1111 M), "Kalau kamu bukan anak raja dan bukan pula anak










Postingan populer dari blog ini

Artikel Nadya

Identitas